Saturday, June 26, 2010




JAKARTA - Draf Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Tentang Konten Multimedia, yang kini bernama Peraturan Tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan atau Pengaduan Konten Internet, dianggap tetap mengancam kemerdekaan pers.

Peraturan kontroversial yang dihidupkan lagi pasca-merebaknya peredaran video mirip Nazril Irham atau Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari itu berpotensi membredel pers, terutama media online.

Karena itu, Dewan Pers menghimbau pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring untuk tidak buru-buru mengesahkan peraturan tersebut.

Menkominfo juga diminta melibatkan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Informasi Pusat, Media Watch, dan seluruh pemangku kepentingan kebebasan pers dalam pembahasan peraturan itu.

"Bila perlu draf itu diuji publik dulu, kalau memang Menkominfo yakin drafnya bagus," kata Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harimurty di Jakarta, Jumat (25/6/2010).

Menurut Bambang, dalam draf terakhir peraturan tersebut, masih terdapat sejumlah kelemahan yang berbahaya bagi pers. Di antaranya, pasal yang memungkinkan Kemenkominfo mencabut ijin perusahaan penyedia jasa internet.

Dengan kata lain, ujar Bambang, seandainya ada konten media seperti Okezone.com, detik.com, tempointeraktif.com atau kaskus.com yang bertentangan dengan peraturan tersebut, maka izin ISP-nya bisa dicabut.

"Kalau di zaman orde baru, ini sama saja dengan mencabut SIUPP," katanya.

Dia mengusulkan, idealnya Kemkominfo menegaskan bahwa peraturan tersebut tidak mengatur hal-hal yang menjadi kewenangan Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia dan lembaga-lembaga yang dibentuk dengan undang-undang.

Dengan demikian, peraturan tersebut tidak melanggar undang-undang pers dan undang-undang penyiaran.

"Karena peraturan menteri jauh lebih rendah statusnya daripada lembaga yang dibentuk oleh undang-undang," katanya.

Kelemahan lain, lanjut Bambang, peraturan tersebut berpotensi melanggar undang-undang telekomunikasi. Sebab, penyedia jasa internet dipaksa menyensor lalu lintas pengguna di internet, termasuk e-mail dan juga data-data pribadi mereka.

"Ini enggak boleh, karena melanggar privasi. Ini sama dengan tukang pos disuruh memeriksa satu per satu surat. Lalu kalau dianggap cabul, dibuang. Zaman Belanda saja, kalau membuka surat orang hukumannya berat," ujar Bambang.

Hal senada diungkapkan Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Margiono. Dia mengatakan, dengan peraturan tersebut, Kemkominfo akan membentuk Tim Pertimbangan beranggotakan 15 orang yang mengawasi konten internet.

"Ini lebih berbahaya karena tidak merinci apa itu konten ilegal. Artinya memberikan cek kosong kepada Tim Pertimbangan," ujarnya.

Di tempat yang sama, mantan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara mengatakan, Tim Pertimbangan yang dipimpin Dirjen Kemkominfo persis seperti pada zaman orde baru.

"Menkominfo lewat RPM tentang multimedia masih bernafsu mendapat kewenangan mencabut perizinan," katanya.

"Jangan lupa orang-orang yang menyusun ini adalah orang-orang pada zaman orde baru yang sudah berpengalaman mengekang pers. Menteri boleh berganti. Tetapi mereka kan tetap ada, dengan pangkat lebih tinggi," imbuhnya.

Categories:

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.